Selasa, 27 Maret 2012
kumpulan puisi ws rendra
Kumpulan Sajak WS
Rendra
Pilihan (Perjuangan)
Orang-Orang Miskin
Oleh : W.S. Rendra
Orang-orang miskin di jalan,
yang tinggal di dalam selokan,
yang kalah di dalam pergulatan,
yang diledek oleh impian,
janganlah mereka ditinggalkan.
Angin membawa bau baju
mereka.
Rambut mereka melekat di bulan
purnama.
Wanita-wanita bunting berbaris
di cakrawala,
mengandung buah jalan raya.
Orang-orang miskin. Orang-
orang berdosa.
Bayi gelap dalam batin. Rumput
dan lumut jalan raya.
Tak bisa kamu abaikan.
Bila kamu remehkan mereka,
di jalan kamu akan diburu
bayangan.
Tidurmu akan penuh igauan,
dan bahasa anak-anakmu sukar
kamu terka.
Jangan kamu bilang negara ini
kaya
karena orang-orang
berkembang di kota dan di desa.
Jangan kamu bilang dirimu kaya
bila tetanggamu memakan
bangkai kucingnya.
Lambang negara ini mestinya
trompah dan blacu.
Dan perlu diusulkan
agar ketemu presiden tak perlu
berdasi seperti Belanda.
Dan tentara di jalan jangan
bebas memukul mahasiswa.
Orang-orang miskin di jalan
masuk ke dalam tidur malammu.
Perempuan-perempuan bunga
raya
menyuapi putra-putramu.
Tangan-tangan kotor dari
jalanan
meraba-raba kaca jendelamu.
Mereka tak bisa kamu biarkan.
Jumlah mereka tak bisa kamu
mistik menjadi nol.
Mereka akan menjadi
pertanyaan
yang mencegat ideologimu.
Gigi mereka yang kuning
akan meringis di muka
agamamu.
Kuman-kuman sipilis dan tbc
dari gang-gang gelap
akan hinggap di gorden
presidenan
dan buku programma gedung
kesenian.
Orang-orang miskin berbaris
sepanjang sejarah,
bagai udara panas yang selalu
ada,
bagai gerimis yang selalu
membayang.
Orang-orang miskin mengangkat
pisau-pisau
tertuju ke dada kita,
atau ke dada mereka sendiri.
O, kenangkanlah :
orang-orang miskin
juga berasal dari kemah Ibrahim
Yogya, 4 Pebruari 1978
Potret Pembangunan dalam Puisi
=======================
Sajak Sebatang Lisong
Oleh : W.S. Rendra
Menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya,
mendengar 130 juta rakyat,
dan di langit
dua tiga cukong mengangkang,
berak di atas kepala mereka
Matahari terbit.
Fajar tiba.
Dan aku melihat delapan juta
kanak-kanak
tanpa pendidikan.
Aku bertanya,
tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur meja kekuasaan
yang macet,
dan papantulis-papantulis para
pendidik
yang terlepas dari persoalan
kehidupan.
Delapan juta kanak-kanak
menghadapi satu jalan panjang,
tanpa pilihan,
tanpa pepohonan,
tanpa dangau persinggahan,
tanpa ada bayangan ujungnya.
…………………
Menghisap udara
yang disemprot deodorant,
aku melihat sarjana-sarjana
menganggur
berpeluh di jalan raya;
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiun.
Dan di langit;
para tekhnokrat berkata :
bahwa bangsa kita adalah malas,
bahwa bangsa mesti dibangun;
mesti di-up-grade
disesuaikan dengan teknologi
yang diimpor
Gunung-gunung menjulang.
Langit pesta warna di dalam
senjakala
Dan aku melihat
protes-protes yang terpendam,
terhimpit di bawah tilam.
Aku bertanya,
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair-
penyair salon,
yang bersajak tentang anggur
dan rembulan,
sementara ketidakadilan terjadi
di sampingnya
dan delapan juta kanak-kanak
tanpa pendidikan
termangu-mangu di kaki dewi
kesenian.
Bunga-bunga bangsa tahun
depan
berkunang-kunang pandang
matanya,
di bawah iklan berlampu neon,
Berjuta-juta harapan ibu dan
bapak
menjadi gemalau suara yang
kacau,
menjadi karang di bawah muka
samodra.
………………
Kita harus berhenti membeli
rumus-rumus asing.
Diktat-diktat hanya boleh
memberi metode,
tetapi kita sendiri mesti
merumuskan keadaan.
Kita mesti keluar ke jalan raya,
keluar ke desa-desa,
mencatat sendiri semua gejala,
dan menghayati persoalan yang
nyata.
Inilah sajakku
Pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita
lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah
kehidupan.
19 Agustus 1977
ITB Bandung
=======================
Aku Tulis Pamplet Ini
Oleh : W.S. Rendra
Aku tulis pamplet ini
karena lembaga pendapat umum
ditutupi jaring labah-labah
Orang-orang bicara dalam kasak-
kusuk,
dan ungkapan diri ditekan
menjadi peng – iya – an
Apa yang terpegang hari ini
bisa luput besok pagi
Ketidakpastian merajalela.
Di luar kekuasaan kehidupan
menjadi teka-teki
menjadi marabahaya
menjadi isi kebon binatang
Apabila kritik hanya boleh lewat
saluran resmi,
maka hidup akan menjadi sayur
tanpa garam
Lembaga pendapat umum tidak
mengandung pertanyaan.
Tidak mengandung perdebatan
Dan akhirnya menjadi monopoli
kekuasaan
Aku tulis pamplet ini
karena pamplet bukan tabu bagi
penyair
Aku inginkan merpati pos.
Aku ingin memainkan bendera-
bendera semaphore di tanganku
Aku ingin membuat isyarat asap
kaum Indian.
Aku tidak melihat alasan
kenapa harus diam tertekan dan
termangu.
Aku ingin secara wajar kita
bertukar kabar.
Duduk berdebat menyatakan
setuju dan tidak setuju.
Kenapa ketakutan menjadi tabir
pikiran ?
Kekhawatiran telah
mencemarkan kehidupan.
Ketegangan telah mengganti
pergaulan pikiran yang merdeka.
Matahari menyinari airmata
yang berderai menjadi api.
Rembulan memberi mimpi pada
dendam.
Gelombang angin
menyingkapkan keluh kesah
yang teronggok bagai sampah
Kegamangan. Kecurigaan.
Ketakutan.
Kelesuan.
Aku tulis pamplet ini
karena kawan dan lawan adalah
saudara
Di dalam alam masih ada cahaya.
Matahari yang tenggelam
diganti rembulan.
Lalu besok pagi pasti terbit
kembali.
Dan di dalam air lumpur
kehidupan,
aku melihat bagai terkaca :
ternyata kita, toh, manusia !
Pejambon Jakarta 27 April 1978
Potret Pembangunan dalam Puisi
=======================
Doa Seorang Serdadu
Sebelum Perang
Oleh : W.S. Rendra
Tuhanku,
WajahMu membayang di kota
terbakar
dan firmanMu terguris di atas
ribuan
kuburan yang dangkal
Anak menangis kehilangan bapa
Tanah sepi kehilangan lelakinya
Bukannya benih yang disebar di
bumi subur ini
tapi bangkai dan wajah mati
yang sia-sia
Apabila malam turun nanti
sempurnalah sudah warna dosa
dan mesiu kembali lagi bicara
Waktu itu, Tuhanku,
perkenankan aku membunuh
perkenankan aku menusukkan
sangkurku
Malam dan wajahku
adalah satu warna
Dosa dan nafasku
adalah satu udara.
Tak ada lagi pilihan
kecuali menyadari
-biarpun bersama penyesalan-
Apa yang bisa diucapkan
oleh bibirku yang terjajah ?
Sementara kulihat kedua
lengaMu yang capai
mendekap bumi yang
mengkhianatiMu
Tuhanku
Erat-erat kugenggam senapanku
Perkenankan aku membunuh
Perkenankan aku menusukkan
sangkurku
Mimbar Indonesia
Th. XIV, No. 25
18 Juni 1960
=======================
Gerilya
Oleh : W.S. Rendra
Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling di jalan
Angin tergantung
terkecap pahitnya tembakau
bendungan keluh dan bencana
Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling dijalan
Dengan tujuh lubang pelor
diketuk gerbang langit
dan menyala mentari muda
melepas kesumatnya
Gadis berjalan di subuh merah
dengan sayur-mayur di
punggung
melihatnya pertama
Ia beri jeritan manis
dan duka daun wortel
Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling dijalan
Orang-orang kampung
mengenalnya
anak janda berambut ombak
ditimba air bergantang-gantang
disiram atas tubuhnya
Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling dijalan
Lewat gardu Belanda dengan
berani
berlindung warna malam
sendiri masuk kota
ingin ikut ngubur ibunya
Siasat
Th IX, No. 42
1955
=======================
GUGUR
Oleh : W.S. Rendra
Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Tiada kuasa lagi menegak
Telah ia lepaskan dengan
gemilang
pelor terakhir dari bedilnya
Ke dada musuh yang merebut
kotanya
Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Ia sudah tua
luka-luka di badannya
Bagai harimau tua
susah payah maut menjeratnya
Matanya bagai saga
menatap musuh pergi dari
kotanya
Sesudah pertempuran yang
gemilang itu
lima pemuda mengangkatnya
di antaranya anaknya
Ia menolak
dan tetap merangkak
menuju kota kesayangannya
Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Belumlagi selusin tindak
mautpun menghadangnya.
Ketika anaknya memegang
tangannya
ia berkata :
” Yang berasal dari tanah
kembali rebah pada tanah.
Dan aku pun berasal dari tanah
tanah Ambarawa yang kucinta
Kita bukanlah anak jadah
Kerna kita punya bumi
kecintaan.
Bumi yang menyusui kita
dengan mata airnya.
Bumi kita adalah tempat pautan
yang sah.
Bumi kita adalah kehormatan.
Bumi kita adalah juwa dari jiwa.
Ia adalah bumi nenek moyang.
Ia adalah bumi waris yang
sekarang.
Ia adalah bumi waris yang akan
datang.”
Hari pun berangkat malam
Bumi berpeluh dan terbakar
Kerna api menyala di kota
Ambarawa
Orang tua itu kembali berkata :
“Lihatlah, hari telah fajar !
Wahai bumi yang indah,
kita akan berpelukan buat
selama-lamanya !
Nanti sekali waktu
seorang cucuku
akan menacapkan bajak
di bumi tempatku berkubur
kemudian akan ditanamnya
benih
dan tumbuh dengan subur
Maka ia pun berkata :
-Alangkah gemburnya tanah di
sini!”
Hari pun lengkap malam
ketika menutup matanya
=======================
Hai, Kamu !
Oleh : W.S. Rendra
Luka-luka di dalam lembaga,
intaian keangkuhan kekerdilan
jiwa,
noda di dalam pergaulan antar
manusia,
duduk di dalam kemacetan
angan-angan.
Aku berontak dengan
memandang cakrawala.
Jari-jari waktu menggamitku.
Aku menyimak kepada arus kali.
Lagu margasatwa agak mereda.
Indahnya ketenangan turun ke
hatiku.
Lepas sudah himpitan-himpitan
yang mengekangku.
Jakarta, 29 Pebruari 1978
Potret Pembangunan dalam Puisi
=======================
Lagu Seorang Gerilya
(Untuk puteraku Isaias Sadewa)
Oleh : W.S. Rendra
Engkau melayang jauh,
kekasihku.
Engkau mandi cahaya matahari.
Aku di sini memandangmu,
menyandang senapan,
berbendera pusaka.
Di antara pohon-pohon pisang di
kampung kita yang berdebu,
engkau berkudung selendang
katun di kepalamu.
Engkau menjadi suatu
keindahan,
sementara dari jauh
resimen tank penindas
terdengar menderu.
Malam bermandi cahaya
matahari,
kehijauan menyelimuti medan
perang yang membara.
Di dalam hujan tembakan mortir,
kekasihku,
engkau menjadi pelangi yang
agung dan syahdu
Peluruku habis
dan darah muncrat dari dadaku.
Maka di saat seperti itu
kamu menyanyikan lagu-lagu
perjuangan
bersama kakek-kakekku yang
telah gugur
di dalam berjuang membela
rakyat jelata
Jakarta, 2 september 1977
Potret Pembangunan dalam Puisi
=======================
Lagu Serdadu
Oleh : W.S. Rendra
Kami masuk serdadu dan dapat
senapang
ibu kami nangis tapi elang toh
harus terbang
Yoho, darah kami campur arak!
Yoho, mimpi kami patung-
patung dari perak
Nenek cerita pulau-pulau kita
indah sekali
Wahai, tanah yang baik untuk
mati
Dan kalau ku telentang dengan
pelor timah
cukilah ia bagi puteraku di
rumah
Siasat
No. 630, th. 13
Nopember 1959
=======================
Mazmur Mawar
Oleh : W.S. Rendra
Kita muliakan Nama Tuhan
Kita muliakan dengan segenap
mawar
Kita muliakan Tuhan yang manis,
indah, dan penuh kasih sayang
Tuhan adalah serdadu yang
tertembak
Tuhan berjalan di sepanjang
jalan becek
sebagai orang miskin yang tua
dan bijaksana
dengan baju compang-camping
membelai kepala kanak-kanak
yang lapar.
Tuhan adalah Bapa yang sakit
batuk
Dengan pandangan arif dan
bijak
membelai kepala para pelacur
Tuhan berada di gang-gang
gelap
Bersama para pencuri, para
perampok
dan para pembunuh
Tuhan adalah teman sekamar
para penjinah
Raja dari segala raja
adalah cacing bagi bebek dan
babi
Wajah Tuhan yang manis adalah
meja pejudian
yang berdebu dan dibantingi
kartu-kartu
Dan sekarang saya lihat
Tuhan sebagai orang tua renta
tidur melengkung di trotoar
batuk-batuk karena malam yang
dingin
dan tangannya menekan
perutnya yang lapar
Tuhan telah terserang lapar,
batuk, dan selesma,
menangis di tepi jalan.
Wahai, ia adalah teman kita yang
akrab!
Ia adalah teman kita semua: para
musuh polisi,
Para perampok, pembunuh,
penjudi,
pelacur, penganggur, dan
peminta-minta
Marilah kita datang kepada-Nya
kita tolong teman kita yang tua
dan baik hati.
Dikutip dari:
Sajak-sajak Sepatu Tua
Rendra
Pustaka Jaya
Dirgahayu6 – Karya Wiyata 83
Tahun XX Juli-Agustus 1997
=======================
Pamplet Cinta
Oleh : W.S. Rendra
Ma, nyamperin matahari dari
satu sisi.
Memandang wajahmu dari
segenap jurusan.
Aku menyaksikan zaman
berjalan kalangkabutan.
Aku melihat waktu melaju
melanda masyarakatku.
Aku merindukan wajahmu,
dan aku melihat wajah-wajah
berdarah para mahasiswa.
Kampus telah diserbu mobil
berlapis baja.
Kata-kata telah dilawan dengan
senjata.
Aku muak dengan gaya
keamanan semacam ini.
Kenapa keamanan justru
menciptakan ketakutan dan
ketegangan
Sumber keamanan seharusnya
hukum dan akal sehat.
Keamanan yang berdasarkan
senjata dan kekuasaan adalah
penindasan
Suatu malam aku mandi di
lautan.
Sepi menjdai kaca.
Bunga-bunga yang ajaib
bermekaran di langit.
Aku inginkan kamu, tapi kamu
tidak ada.
Sepi menjadi kaca.
Apa yang bisa dilakukan oleh
penyair
bila setiap kata telah dilawan
dengan kekuasaan ?
Udara penuh rasa curiga.
Tegur sapa tanpa jaminan.
Air lautan berkilat-kilat.
Suara lautan adalah suara
kesepian.
Dan lalu muncul wajahmu.
Kamu menjadi makna
Makna menjadi harapan.
……. Sebenarnya apakah
harapan ?
Harapan adalah karena aku akan
membelai rambutmu.
Harapan adalah karena aku akan
tetap menulis sajak.
Harapan adalah karena aku akan
melakukan sesuatu.
Aku tertawa, Ma !
Angin menyapu rambutku.
Aku terkenang kepada apa yang
telah terjadi.
Sepuluh tahun aku berjalan
tanpa tidur.
Pantatku karatan aku seret dari
warung ke warung.
Perutku sobek di jalan raya yang
lengang…….
Tidak. Aku tidak sedih dan
kesepian.
Aku menulis sajak di bordes
kereta api.
Aku bertualang di dalam udara
yang berdebu.
Dengan berteman anjing-anjing
geladak dan kucing-kucing liar,
aku bernyanyi menikmati hidup
yang kelabu.
Lalu muncullah kamu,
nongol dari perut matahari
bunting,
jam duabelas seperempat siang.
Aku terkesima.
Aku disergap kejadian tak
terduga.
Rahmat turun bagai hujan
membuatku segar,
tapi juga menggigil bertanya-
tanya.
Aku jadi bego, Ma !
Yaaah , Ma, mencintai kamu
adalah bahagia dan sedih.
Bahagia karena mempunyai
kamu di dalam kalbuku,
dan sedih karena kita sering
berpisah.
Ketegangan menjadi pupuk cinta
kita.
Tetapi bukankah kehidupan
sendiri adalah bahagia dan
sedih ?
Bahagia karena napas mengalir
dan jantung berdetak.
Sedih karena pikiran diliputi
bayang-bayang.
Adapun harapan adalah
penghayatan akan ketegangan.
Ma, nyamperin matahari dari
satu sisi,
memandang wajahmu dari
segenap jurusan.
Pejambon, Jakarta, 28 April 1978
Potret Pembangunan dalam Puisi
=======================
Sajak Seorang Tua Untuk
Isterinya
Oleh : W.S. Rendra
Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara kau kenangkan
encokmu
kenangkanlah pula masa remaja
kita yang gemilang
Dan juga masa depan kita
yang hampir rampung
dan dengan lega akan kita
lunaskan.
Kita tidaklah sendiri
dan terasing dengan nasib kita
Kerna soalnya adalah hukum
sejarah kehidupan.
Suka duka kita bukanlah
istimewa
kerna setiap orang
mengalaminya.
Hidup tidaklah untuk mengeluh
dan mengaduh
Hidup adalah untuk mengolah
hidup
bekerja membalik tanah
memasuki rahasia langit dan
samodra,
serta mencipta dan mengukir
dunia.
Kita menyandang tugas,
kerna tugas adalah tugas.
Bukannya demi sorga atau
neraka.
Tetapi demi kehormatan
seorang manusia.
Kerna sesungguhnyalah kita
bukan debu
meski kita telah reyot, tua renta
dan kelabu.
Kita adalah kepribadian
dan harga kita adalah
kehormatan kita.
Tolehlah lagi ke belakang
ke masa silam yang tak
seorangpun kuasa
menghapusnya.
Lihatlah betapa tahun-tahun kita
penuh warna.
Sembilan puluh tahun yang
dibelai napas kita.
Sembilan puluh tahun yang
selalu bangkit
melewatkan tahun-tahun lama
yang porak poranda.
Dan kenangkanlah pula
bagaimana kita dahulu
tersenyum senantiasa
menghadapi langit dan bumi,
dan juga nasib kita.
Kita tersenyum bukanlah kerna
bersandiwara.
Bukan kerna senyuman adalah
suatu kedok.
Tetapi kerna senyuman adalah
suatu sikap.
Sikap kita untuk Tuhan, manusia
sesama,
nasib, dan kehidupan.
Lihatlah! Sembilan puluh tahun
penuh warna
Kenangkanlah bahwa kita telah
selalu menolak menjadi koma.
Kita menjadi goyah dan
bongkok
kerna usia nampaknya lebih kuat
dari kita
tetapi bukan kerna kita telah
terkalahkan.
Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara kaukenangkan
encokmu
kenangkanlah pula
bahwa kita ditantang seratus
dewa.
WS. Rendra, Sajak-sajak sepatu
tua,1972
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar